
Alamat untuk hinggap di kasur empuk belum bisa saya kirimkan, sebab di luar jendela masih bertempur serdadu hujan yang menggempur sekeliling kamar saya, sangat sengit mereka bertalu. dan juga memang saat itu belum juga ada sugesti dari kantuk atau gelagat-gelagat lain yang mengajakku untuk sebentar bermain-main di singgasana mimpi.
Sementara di dalam kamar, saya serasa menerobos di luar batas frekuensi kesadaran. Tepatnya, ingin menjadi “ibu” dari sesuatu bahkan “Tuhan” sekalipun. Cita-cita aneh yang dipacu oleh teks-teks yang kebetulan saat itu lewat di depan mata dan baunya tercium lantas tercerna oleh sepasang kuping saya. Ini memang adalah salah satu risalah yang saya tanam dalam-dalam (Fenoisme). Nantilah kita bercerita tentang Fenoisme. sekarang, saya mesti merenangi renung lagi bahkan menyelaminya sampai ke titik akhir pertemuan saya dengan malam ini.
Teks-Teks itu berupa nyala lampu pijar,aroma piring-piring kotor, dan gelegar petir yang tak mengingkari janjinya pada bumi. Mereka seakan-akan menyeret tangan saya untuk mengikatnya rapi menjadi sebuah pesan esok pagi.
Thomas Alfa Edisson pasti mengangguk jika saya menanyakan tentang Lampu pijar yang dia temukan berawal dari rasa yang bernama kegelisahan. begitu juga dengan sang penangkap petir, Benjamin franklin, beradu nyali dengan menggantungkan kunci besi pada benang layang-layang di tengah deras hujan dan riuhnya kilat. Keduanya berangkat dari rasa keingin tahuan pada misteri di alam semesta sehingga sekarang mereka layak terhormat di mata kita.
Barangkali, saat ini saya harus memulainya dengan rasa gelisah juga, di mulai dengan menternak ide-ide bau piring kotor itu lantas di jewantahkan ke dalam beberapa kalimat. Entah kalimat itu berjenis narasi,puisi, ataupun petisi atau keluar dari kamar untuk mencuci piring kotor itu satu persatu sampai baunya tak berjejak lagi.
Ini satu langkah untuk menjadi seorang "ibu" dari catatan-catatan bahkan "Tuhan" sekalipun.
Teruslah bergelisah …
Sementara di dalam kamar, saya serasa menerobos di luar batas frekuensi kesadaran. Tepatnya, ingin menjadi “ibu” dari sesuatu bahkan “Tuhan” sekalipun. Cita-cita aneh yang dipacu oleh teks-teks yang kebetulan saat itu lewat di depan mata dan baunya tercium lantas tercerna oleh sepasang kuping saya. Ini memang adalah salah satu risalah yang saya tanam dalam-dalam (Fenoisme). Nantilah kita bercerita tentang Fenoisme. sekarang, saya mesti merenangi renung lagi bahkan menyelaminya sampai ke titik akhir pertemuan saya dengan malam ini.
Teks-Teks itu berupa nyala lampu pijar,aroma piring-piring kotor, dan gelegar petir yang tak mengingkari janjinya pada bumi. Mereka seakan-akan menyeret tangan saya untuk mengikatnya rapi menjadi sebuah pesan esok pagi.
Thomas Alfa Edisson pasti mengangguk jika saya menanyakan tentang Lampu pijar yang dia temukan berawal dari rasa yang bernama kegelisahan. begitu juga dengan sang penangkap petir, Benjamin franklin, beradu nyali dengan menggantungkan kunci besi pada benang layang-layang di tengah deras hujan dan riuhnya kilat. Keduanya berangkat dari rasa keingin tahuan pada misteri di alam semesta sehingga sekarang mereka layak terhormat di mata kita.
Barangkali, saat ini saya harus memulainya dengan rasa gelisah juga, di mulai dengan menternak ide-ide bau piring kotor itu lantas di jewantahkan ke dalam beberapa kalimat. Entah kalimat itu berjenis narasi,puisi, ataupun petisi atau keluar dari kamar untuk mencuci piring kotor itu satu persatu sampai baunya tak berjejak lagi.
Ini satu langkah untuk menjadi seorang "ibu" dari catatan-catatan bahkan "Tuhan" sekalipun.
Teruslah bergelisah …
0 komentar:
Posting Komentar