Kamis, 26 Desember 2024

Dari Deker ke Kopisop: Sebuah Diskursus Politik Anak Muda

 Wajah dan usia kita mampu bersembunyi di balik definisi ‘anak muda’, wabil khusus di kata ‘muda’. Ada kalanya di sebuah perbincangan, kita mendengar ucapan dari seseorang ‘biar umur sudah tua tapi jiwa harus tetap muda’.

Ledakan demografis menguntungkan anak muda memengaruhi iklim demokrasi. Dominasi mereka dilihat sebagai peluang sekaligus mata uang oleh partai politik. Para politikus memakai terminologi ‘Milenial’ atau ‘Gen Z’, sekaligus meminjam bahasa dan gaya mereka di suatu kampanye partai politik. Meski kadang rasa-rasanya agak menggelikan. Memang ada tujuan dibalik pemakaian bahasa dan gaya itu, dengan kata lain adalah sebuah jurus, upaya-upaya untuk menggaet  ceruk suara anak muda yang secara statistik sangat dominan jumlahnya di data daftar pemilih tetap. Sampai di sini terlihat jelas anak muda dijadikan sebagai objek politik.

Anak muda, hanyalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa, belum ada pengalaman melahap asam garam dunia politik. Asumsi remeh seperti itu tak jarang muncul di permukaan, kacamata yang tua tahu lebih banyak daripada yang muda selayak di masa feodal sudah tidak terpakai lagi. di konteks sekarang,  Anak muda melek akan teknologi, kesehariannya diisi oleh pembacaan-pembacaan informasi yang tak berbatas, keterlibatan dalam pengelolaan media, modal-modal inilah yang menjegal asumsi-asumsi usang tadi.

Media dan Anak Muda

Di tahun 80-90 an, Deker tak lebih dari sekadar penghubung dua bagian jalan yang terpisah oleh saluran air di sisi jalan, juga sebagai media bertemunya anak muda dalam mengekspansi pemikiran dan  mengaktualisasikan diri lantas diwacanakan dalam dialog yang panjang, sesekali dinyanyikan bersama-sama dengan iringan gitar di sebuah malam. Anak-anak muda di masa ini boleh dikata minim informasi,  keterbatasan itu malah dijadikan senjata dan berhasil mengubah peta politik di negara ini. Deker, satu dari beberapa media yang mengabarkan peristiwa Reformasi 98.

Kopisop bisa jadi adalah tempat selanjutnya, kenyamanan isinya tak harus diikuti dengan melembutkan pikiran kita. Saya melihat kopisop bukan hanya tempat bertemu, makan-minum, dan ruang gosip belaka. dari sini juga anak muda membuka gadget mereka, menjelajahi lorong-lorong informasi, menyebarkan buah-buah pikiran lewat tagar-tagar politisnya ke beberapa media sosial yang dia miliki. Kepemilikan akses yang luas berperan vital dalam membentuk opini dan persepsi publik, mengorganisir gerakan sosial dan partisipasi bebas aktif dalam peristiwa politik.

Ruang dan waktu berbeda, tujuan anak muda kini dan dulu mesti tak berubah.

kebutuhan anak muda kepada politik itu harus, paling tidak sebagai bahan yang bisa dijadikan perbincangan di meja warung kopi atau story-story media sosial, kendatipun ada juga yang merasa acuh di antara mereka, sementara peristiwa politik itu adalah hal yang setiap hari kita hadapi, suka tidak suka karena keputusan politik akan berdampak pada kehidupan kita di akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

'1998'

Foto ini digambar oleh anak saya yang berusia enam setengah. cerita  sebelum gambar ini jadi, ia tampak bosan menunggu di lobi sebuah bank l...

Followers